Sudah 13 tahun, seorang guru besar bangsa Indonesia dengan nama besar Gus Dur telah wafat. Gus Dur memberikan warisan berharga bagi para penerus yakni perjuangan kemanusiaan. Itu merupakan pekerjaan rumah (PR) yang masih panjang karena kondisi faktual di Indonesia banyak kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompokkelompok minoritas. “Kasus rumah ibadah masih ada, penyesatan masih mengemuka, kasus lama yang menodai rasa kemanusiaan tidak bisa dilupakan.
Tahun ini kita refresh ingatan bahwa perjuangan Gus Dur tema utamanya adalah kemanusiaan, menghilangkan segregasi sosial agar setiap warga negara memiliki hak yang sama dan berdiri pada posisi yang setara,” ungkap seorang dosen dari Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung sekaligus pengisi orasi Ilmiah malam itu, Akhol Firdaus. Dia mengungkapkan, dengan mengingat perjuangan Gus Dur yang telah dilakukan, anak-anak muda lintas agama di Tulungagung sampai kelompok pekerja sosial harus tahu bahwa perjuangan masih panjang. Toleransi formal pada level artifisial tidak boleh membuat semuanya terlena. Itu karena toleransi harus ditingkatkan sampai segregasi sosial benarbenar hilang di Indonesia termasuk di Tulungagung. “Harusnya kalau acara semacam ini bisa dilakukan di Gereja, maka tentunya juga bisa dilakukan di semua tempat ibadah lain di Tulungagung. Kita punya agenda untuk mengenalkan semua kelompok agama agar lebih mempraktikkan inklusivisme sampai pada praktik keseharian,” tutur Akhol, sapaan akrab pria tersebut.
“Problem toleransi kita (Tulungagung, Red) itu bisa saya bilang tetap mempertimbangkan aspek mayoritisme. Jadi, mayoritas jauh lebih diuntungkan,” tambahnya. Kemudian suatu saat, dalam angan-angan Akhol akan ada masjid-masjid di Tulungagung yang menjadi tempat terbuka bagi kegiatan bersama lintas agama. Karena selama ini, bisa dibilang belum ada kegiatan sama seperti apa yang telah dilaksanakan pada GKJW malam itu. Sementara itu, Koordinator Gusdurian Tulungagung, Riska Umami membeberkan, perjuangan Gus Dur untuk memanusiakan manusia menjadi semangat tersendiri. Memupuk rasa persaudaraan di tengah kebhinekaan Indonesia yang menjadi tujuan. Harapannya, apa yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat Tulungagung agar merasakan keadilan serta setara dengan apa pun latar belakang yang dimiliki. “Sengaja kita sebar total 34 undangan mulai dari seluruh badan eksekutif mahasiswa (BEM) yang ada di Tulungagung, Gusdurian Tulungagung dan sekitarnya, sampai teman-teman lintas iman yang lainnya,” ungkap Riska Umami.
Di sisi lain, pihak GKJW Jepun Tulungagung merindukan kegiatan lintas agama seperti Jumat malam itu selama empat tahun terakhir. Sebelum pandemi, gereja juga memprogramkan kegiatan semacam itu secara rutin dilakukan setidaknya satu tahun sekali. Itu karena hal tersebut bisa menjadi pembelajaran di tengah banyak orang yang memperjuangkan tentang agama, tetapi masih diimbangi dengan memperjuangkan kemanusiaan. “Kami berharap saudara kami (lintas agama, Red) bisa datang ke tempat kami. Ini baru pertama kali setelah pandemi Covid-19,” jelas Pendeta GKJW Jemaat Tulungagung, Lipta Febriastuti. Dia menuturkan, ketika seseorang beragama tetapi juga memanusiakan manusia, maka berarti nilainilai yang terkandung dalam agama telah dijunjung tinggi. Tekad untuk mengelola dan merayakan sebuah perbedaan menjadi prinsip ke depannya. (*/c1/din)